Relung Hati Prof Nurdin Abdullah; Tentang Perjalanan Hidup
BugisPos — SEBANRANYA Aku bukan Penulis. Penulis yang punya banyak ilmu pengetahuan. Aku hanya menulis tentang hidup yang mengajarkanku mengenai perjalanan hidup seorang anak manusia seperti Aku.
Bukan hanya tentang diriku dan orang lain, tetapi ini adalah konflik yang timbul di masa lalu, masa sekarang, dan di masa yang akan datang. Ini tentang putusnya hubungan antara dua generasi. Ini tentang bahu yang terkulai, di mana seorang anak sedang duduk menatap dunia.
Ini tentang tangan yang gemetar … Tangan yang dulu memegang dan membimbing tangan mereka, dan mengajari mereka untuk berjalan menyusuri lorong waktu.
Namun mulut itu sekarang sudah bungkam seribu bahasa. Zaman sudah berubah. Jadi Aku ingat dengan orang-orang sebayaku di masa lalu. Kami selalu menjalin hubungan dan ikatan persahabatan untuk melakukan sesuatu.
Ayah kami adalah Tuhan, di telapak kaki Ibu terdapat surga. Dan sekarang, sekarang orang sudah sangat bijaksana. Generasi baru sangat pintar dan praktis.
Bagi mereka, setiap hubungan ibarat menaiki tangga. Di mana mereka akan naik lebih tinggi. Dan di saat mereka tak bisa, mereka melangkah lagi, karena sisa-sisa berkas di rumah … pembuluh lama, pakaian lama, mereka buang ke loteng.
Akan tetapi, hidup tak akan membawamu naik seperti tangga. Hidup itu seperti menanam pohon. Orang tua bukan menaiki tangga. Orang tua adalah jiwa seseorang. Tetapi pohon itu tetap hijau dan berkembang. Pohon itu. Pohon itu bisa berdiri sendiri, sekalipun akarnya dipotong.
Dengan segala hormat dan kerendahan hati, Aku ingin bertanya sekarang ; Anak-anak akan bahagia, ketika ayah menghabiskan seluruh uangnya dengan susah-payah sambil tersenyum. Anak-anak akan bahagia ketika penglihatan ayahnya sudah rabun.
Kenapa mesti ragu-ragu meneranginya dengan cahaya? Jika ayah dapat membantu anaknya menentukan langkah pertama hidupnya, kenapa anak tidak bisa?
Memberikan dukungan saat ayahnya mengambil beberapa langkah terakhir dalam hidupnya, apa itu kejahatan orang tua? Pada siapa orang tua mengabdikan seluruh hidupnya untuk anak-anak mereka, mereka memberikan air mata dan kesepian.
Jika mereka tidak bisa memberikan kita cinta, siapa yang berhak merebut cinta kita? Apa yang anak-anak pikirkan? Orang tua dan cinta dipersatukan Tuhan … Dapatkah mereka memisahkan dan memaksa mereka untuk menjalani hidup dari penderitaan dan putus asa? Apakah suatu hari nanti anak kita mencari anak-anaknya?
Anak mungkin lupa. Apa yang kita beri hari ini, mereka akan terima besok. Jika kita tua hari ini, mereka juga akan tua suatu hari nanti. Pertanyaan yang kita ajukan sekarang, mereka akan menjawabnya besok.
Adapun Aku, tolong jangan khawatirkan Aku apabila Aku membesarkan anak-anakku. Membantu mereka menjadi terampil dan mandiri. Aku juga mampu menjaga diri sendiri. Kurasa tak perlu mengharapkan apapun dari seseorang, karena Aku sangat beruntung. Beruntung karena Aku punya pendamping hidup.
Berjalan dengan siapapun selalu membuat jalan Aku lebih mudah. Berjalan dengan siapapun Aku selalu kesulitan untuk terpesona. Dan hanya isteriku teman Aku.
Namun orang sering jatuh cinta, seringkali mereka tak mengungkapkan yang sebenarnya. Aku tak ingin melakukan kesalahan itu.
Lies isteriku, Aku sangat mencintaimu. Sangat mencintaimu. Karena dirimu Aku ada. Segalanya ada kalau kita bersama. Tidak ada yang lain. Tidak ada. Hanya itu yang bisa Aku katakan ***
(Editor : Usdar Nawawi)