SD Negeri Borong Memberlakukan Penggunaan Tumbler di Sekolah
BugisPos – Kepala SD Negeri Borong, Dra Hj Hendriati Sabir, M.Pd mengeluarkan instruksi Gerakan Penggunaan Tumbler tertanggal 1 Februari 2019. Instruksi tersebut ditujukan kepada para guru, tenaga kependidikan, orang tua siswa dan peserta didik.
“Esensi dari instruksi yang dikeluarkan, yakni sekolah kami mau berkontribusi dalam mengurangi sampah plastik,” jelas kepala sekolah yang biasa disapa Bu Indri itu.
Dalam instruksi yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan Ketua Adiwiyata SD Negeri Borong itu disebutkan bahwa dalam rangka mengurangi sampah plastik maka penggunaan tumbler diberlakukan. Tumbler ini sebagai pengganti gelas atau botol air minum sekali pakai yang biasa dibawa murid-murid. Hal ini sebagai bagian dari gerakan cinta lingkungan untuk mendukung pengelolaan sampah.
“Jadi kita mau bangun budaya zero sampah dengan cara tidak memproduksi sampah. Idealnya begitu,” lanjutnya.
Sampah plastik di sekolah yang terletak di Kecamatan Manggala, Makassar, ini antara lain berupa botol dan gelas air mineral, gelas minuman kemasan dan bungkus plastik sisa jajanan anak. Beberapa sampah plastik terlihat sudah didaur ulang menjadi aneka barang kreatif seperti pohon, bosara, tempat tisu, tempat gelas dan pot bunga. Selebihnya ditimbang dan dijual ke bank sampah.
Wali Kelas 3A, Hj Nurhaedah, S.Pd mengatakan murid-muridnya terbiasa membawa tumbler yang diselipkan di tas mereka, apalagi saat jam olah raga. Katanya, ada juga yang membawa minuman dalam botol air kemasan tapi sebenarnya dari air isi ulang.
Juni dan Manda, keduanya murid kelas 3, merupakan beberapa anak yang rutin membawa tumbler ke sekolah. Mereka mengaku bisa lebih hemat kalau membawa air sendiri. Apalagi bagi Manda yang sering kehausan. Air yang dibawa merupakan air galon isi ulang.
“Lebih bagus kalau bawa air. Karena kalau uang habis lalu tidak ada air bisa-bisa kehausan,” ujar Juni polos.
Membangun pembiasaan ini menjadi tantangan bagi sekolah, yang diakui oleh Rosmiaty, S.Pdi sebagai Ketua Adiwiyata. Menurutnya, kebiasaan itu mulai terpola dari rumah lalu dibawa ke sekolah. Sehingga untuk mengubahnya butuh metode pembelajaran yang mampu membangun sikap kritis anak peduli dan cinta lingkungan.
Berkaitan dengan sampah plastik, Bu Ros menjelaskan bahwa biasanya dilakukan pemilahan sebelum ditimbang. Setiap kelas ada buku tabungan dari bank sampah. Hasil penimbangan disetor ke bendahara umum, yang nanti digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman. Sampah plastik itu dijual per kilo seharga Rp1.500-2000.
“Selama ada Adiwitaya sudah dilakukan 6 kali penimbangan. Jadi rata-rata sebulan sekali,” kata Bu Ros, yang sehari-hari sebagai guru agama Islam.
Bu Ros menambahkan, dalam pembelajaran lingkungan hidup dibutuhkan alat peraga terkait dengan pembelajaran supaya bisa lakukan pembelajaran tuntas.
Dicontohkan, jika belajar tentang kelapa maka dimulai dari asal kelapa, tumbuhnya di mana saja, buahnya seperti apa, manfaat batang pohon kelapa, buahnya dan seterusnya. Begitu juga jika mengajarkan tentang ikan, anak-anak mesti punya pengalaman langsung tentang ikan tersebut. Mereka tahu bagaimana itu ikan di laut yang hidup di air asin dan ikan di air tawar.
“Kalau anak-anak benar-benar diajarkan, melihat dan merasakan langsung maka saya yakin mereka akan mengerti,” imbuhnya.(*)