Fakta Dianggap Suci
Oleh :
M. Dahlan Abubakar
BugisPos — Bagi seorang wartawan, fakta dianggap suci, sementara objektivitas adalah harga mati. Seorang jurnalis tidak boleh menginterpretasi sebuah fakta, tetapi boleh mendeskripsi sebuah fakta.
Menginterpretasi adalah memberi penilaian, sementara mendeskripsi berupa melukiskan atau mengambarkan suatu fakta.
Pekerjaan wartawan berkaitan dengan ,masalah kebenaran fakta yang diperoleh. Meskipun kebenaran yang diperoleh itu relatif dan multi-interpretatif. Definisi kebenaran ini banyak, tetapi Harold H.Titus dalam bukunya Living Issues of Philosophy an Introduction of Text Book (1959) menyebutkan, “Kebenaran adalah kesetiaan putusan-putusan dan ide-ide kita pada fakta pengalaman atau alam sebagaimana apa adanya, sementara kita senantiasa dapat membandingkan putusan kita itu dengan situasi aktual, maka ujilah putusan kita itu dengan putusan-putusan lainnya yang kita percaya sah dan benar; atau kita ujilah putusan-putusan itu dengan kegunaannya dan dengan akibat-akibat praktis”.
NILAI BERITA
Ada enam belas nilai berita, yakni :frekuensi, negatif, tak terduga, tak mendua, personalisasi, kepenuhartian, berkaitan dengan pemimpin negara, berkaitan dengan individu, konflik, prediksi, penting, besar, aktualitas, kedekatan, tenar, dan human interest (manusiawi).
Bagi media cetak atau koran, untuk mengimbangi laju kecepatan media online (media daring) yang cepatnya bagaikan mata berkedip, yang dapat dikembangkan adalah penulisan yang berkaitan dengan human interest.
Yakni, berita-berita yang dapat menyentuh hati pembaca. Human interest mencakup:
1. Ketegangan (suspense): mencakup banyak peristiwa dalam kehidupan kita sehari-hari. Suasana menjelang pertandingan bola, rekonstruksi pembunuhan yang menghebohkan, dan sebagainya menjadi bahan berita yang menarik.
2. Ketidaklaziman (unusualness) : yakni berita yang aneh dan langka. Misalnya, ayam berkaki tiga atau empat. Pohon kelapa bercabang dua. Sapi berkaki dua.
3. Minat Pribadi (Personal Interest): Yakni berkaitan dengan hobi orang lain yang dianggap lain daripada yang lain. Seseorang yang senang mengoleksi barang antik.
4. Konflik (conflict): Aspek berita ini menjadi bagian yang menarik perhatian manusia. Konflik dualisme ketua partai atau apa pun selalu menarik.
5. Simpati (sympathy) : Yakni rasa prihatin seorang wartawan melihat suatu fenomena. Misalnya, rumah-rumah yang ambruk diterjang badai.
6. Kemajuan (Progress): Perkembangan pembangunan suatu daerah yang kumuh menjadi tidak kumuh. Terbuka transportasi daerah yang selama ini terisolasi menjadi bagian yang menarik.
7. Seks (Sex): Masalah ini selalu mendapat perhatian banyak pihak, karena berkaitan dengan perilaku manusia.
8. Usia (Age): Mereka yang sudah masuk usia lanjut, misalnya 100 tahun ke atas, selalu menjadi bagian kisah dan cerita yang menarik. Mereka yang berusia lanjut dapat membagi pengalaman resep hingga dapat mencapai usia lanjut seperti itu.
9. Binatang (Animals): Kisah binatang piaraan yang lucu selalu mendapat tempat dalam pemberitaan. Di Jepang pernah difilmkan kisah seekor anjing yang bernama Hachiko yang sangat setia. Setiap hari, Hachiko mengantar dan menjemput majikannya yang pergi bekerja ke dan di stasion kereta. Perilaku anjing pintar ini tetap berlangsung setelah majikannya meninggal dunia. Filmnya cukup mengharukan. Untuk mengenang Hatchiko, di tengah Kota Tokyo dibangun satu patung kepala anjing dan satu gerbong kereta api bercat hijau. Saya sempat mengunjungi tempat ini Juni 2013.
10. Humor (Humor): Kisah humor selalu menawarkan cerita yang menarik. Paling tidak dapat membuat orang yang membacanya tersenyum sendiri, paling parah tertawa. Saya berikan contoh satu tulisan humor mahasiswa saya di Unhas berikut ini:
Sri Julianti
CITA-CITA YANG MULIA
Setelah setahun membanting tulang belajar, saya akhirnya berhasil masuk perguruan tinggi dambaan. Saya memilih Departemen Sastra Indonesia karena sejak awal bercita-cinta menjadi seorang pengajar bahasa. Setelah melewati masa orientasi pengenalan program studi (Opspek) saya pun menjalani kuliah.
“Selamat pagi. Saya adalah dosen yang akan mengajarkan mata kuliah Ilmu Sastra kepada kalian di semester ini. Tetapi sebelumnya, saya ingin kalian memperkenalkan diri masing-masing,” seorang wanita berkata ketika pertama kali memasuki ruang kuliah.
“Mulai dari kamu. Perkenalkan nama dan cita-citamu,” ibu dosen yang tampak berwibawa itu menunjuk Ilham, teman saya yang duduk di deretan kursi paling belakang.
“Nama saya, Ilham Riswandi. Biasa dipanggil Ilham. Saya bercita-cita jadi sastrawan,” ucap Ilham yang dibalas anggukan sang Ibu Dosen.
Giliran teman yang ada di samping Ilham yang memperkenalkan diri, hingga semuanya dapat giliran.
“Nama saya Iin. Cita-cita saya ingin menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami, dan anak-anak saya nanti,” kata mahasiswa perempuan itu.
“Cita-cita kamu bagus. Lalu mengapa kamu masuk fakultas ini?,” Ibu Dosen mencecarnya dengan pertanyaan.
“Saya mengikuti keinginan orang tua,” balas Iin.
Orang terakhir memperkenalkan diri. Namanya, Dodi. Dia pun berdiri tegap dengan pandangan lurus ke depan.
“Nama saya Dodi. Cita-cita saya adalah membantu Iin menggapai cita-citanya,” kata Dodi membuat seisi kelas terbahak-bahak, terkecuali Iin. (*).