BugisPos — Bagi mereka yang menyebut dirinya wartawan, saya usulkan ada baiknya membaca dua buku yang fenomenal ini Buku pertama, “All the President’s Men” dan kedua, “Mesin Penindas Pers”. Kedua buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku pertama diterbitkan “Serambi” Bandung, Cetakan I, Juni 2012, tebal 526 halaman. Buku kedua, diterbitkan Q-Pers Bandung, Cetakan 1 Agustus 2006, tebal 551 halaman.
Buku “All the President;s Men” pertama kali saya baca sekitar tahun 1980 ketika masih berkantor di Kampus Baraya. Buku ini merupakan cerita detektif politik terdahsyat sepanjang masa yang ditulis oleh dua orang wartawan “The Washington Post”, Bob Woodward dan Carl Benstein. Pada tanggal 4 September 2012, tiga bulan setelah beredar cetakan pertamanya (cetakan kedua saya tidak tahu kapan diterbitkan), saya membeli buku ini Toko Gramedia Mal Panakkukang.
Ditulis dengan gaya novel (nonfiksi), buku ini bertutur tentang suka duka kedua wartawan “The Post” (singkatan dari “The Washington Post”) dalam peliputan investigasi perihal operasi intelijen pencurian dokumen di Kompleks Watergate, yang merupakan markas Partai Demokrat, lawan politik Partai Republik yang sedang menakhodai Amerika pada awal tahun 1970-an. Richard Nixon, sang presiden ketika kasus ini terbongkar akhirnya mengundurkan diri Agustus 1974 sekaligus mengubur mimpinya melangkah ke periode kedua memimpin negara adidaya itu. Inilah untuk pertama kali seorang presiden di dunia ‘dijatuhkan” oleh pers.
Benstein, salah seorang dari dua “pencari berita’ (news getter) ‘The Post’ mengawali kariernya dalam usia yang sangat muda, 16 tahun, di sebuah media yakni, ‘Washington Star”. Dia sebenarnya bukan lulusan universitas tetapi sudah menjadi wartawan purnawaktu (sepenuh waktu yang ditetapkan).pada usia 19 tahun. Sejak 1966 Bernstein sudah bekerja di ‘Post’.
Akan halnya dengan Woodward, disebut sebagai reporter primadona “The Post” karena dianggap piawai menangani dunia politik. Tidak mengherankan, dia termasuk lulusan Yale University, salah satu universitas sangat bergengsi di Amerika Serikat, se-jejer dengan Harvard Universitas, almamater Barack Obama, mantan Presiden AS. Tidak hanya itu, wartawan “The Post” yang satu ini merupakan veteran perang Angkatan Laut.
*Rahasiakan Nara Sumber*
Tentu saja tidak semua wartawan di berbagai belahan jagat ini dapat meniru peliputan yang dilakukan kedua wartawan ini dalam menginvestigasi informasi yang kelak dijadikan berita, tetapi paling tidak ada benang merah filosofi dan norma-norma jurnalisme yang layak kita simak dan dijadikan hikmah atau pegangan dalam profesi kita. Salah satu pesan yang mereka sampaikan adalah satu kalimat pendek, “Jika ragu tinggalkan”.
Klausa (satuan gramatikal yang mengandung predikat dan berpotensi jadi kalimat karena di dalam kalimat itu tidak ada subjek dan objeknya) tersebut pertama kali saya dengar dari Pak Anwar Arifin (Prof.Dr.) pada tahun ketiga atau keempat bergabung dengan Penerbitan Kampus “Identitas”. Pesan tersebut hingga kini saya “amalkan” karena ternyata kemudian hasilnya bertuah. Contohnya, suatu saat saya ragu ke luar kota, akhirnya saya batalkan. Ternyata, dalam perjalanan pulang ke rumah (yang rencananya setelah itu akan ke daerah) mobil saya mengalami masalah.
Saya curiga, Pak Anwar Arifin – yang kemudian selalu mengingatkan klausa itu pada saat setiap berkumpul di Percetakaan “Sulawesi” ketika pengerjaan tata letak “Identitas” – memperolehnya setelah membaca buku tersebut. Beliaulah yang “menggilir” kami membaca buku tersebut hingga tamat. Seingat saya, setelah giliran saya membaca, yang memperoleh kesempatan berikutnya Syamsuddin Muhammad (SM) Noor (Prof.Dr., S.H., M.H.). Setelah itu, saya tidak tahu siapa yang memperoleh giliran berikutnya.
Saya kira ini penting dipraktikkan oleh para wartawan.
Saya masih ingat ketika menjadi redaktur malam di Harian “Pedoman Rakyat” — saat setiap berita yang ditulis malam hari oleh reporter harus melalui pemeriksaannya – ada berita seorang teman yang disodorkan kepada saya.
Setelah melihat berita itu tidak ada konfirmasinya, saya ragu dan tidak memuatnya karena bertentangan dengan kode etik jurnalistik.
“Nanti tunda saja dulu, dimuat hari berikutnya, setelah ada konfirmasinya,”
pesan saya kepada teman tersebut sembari menyerahkan kembali naskah berita yang baru saja diketik di atas kertas (waktu itu belum ada komputer).
Saya pun tidak mengikuti ke bagian “zetter” (pengetik berita) dan percaya teman tersebut akan menuruti saran saya karena itu merupakan tuntutan kode etik jurnalistik yang harus ditaati.
Keesokan harinya, saya ditelepon oleh Sekretaris Redaksi yang menyampaikan pesan dicari pemimpin redaksi, Pak M.Basir. Batin saya bergolak dan curiga pasti ada masalah.
“Kamu yang piket tadi malam, pernah lihat dan periksa berita ini?,” tanya Pak Basir sambil memperlihatkan berita teman yang saya periksa pada malam harinya dimuat edisi PR hari itu.
“Betul saya lihat dan periksa, Pak. Tetapi saya sudah sampaikan kepada yang bersangkutan (saya menyebut nama teman itu) agar berita itu ditunda karena harus ada konfirmasinya dulu,” balas saya disertai rasa kaget karena mengira berita tersebut akan ditunda pemuatannya.
Setelah mendengar penjelasan saya, Pak Basir juga memanggil yang bersangkutan dan “disemprot” karena telah “menyelundupkan” sendiri berita yang belum layak muat.
Masalah kedua, berkaitan dengan menjaga identitas narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya, sebagaimana juga diatur dalam pasal 7 Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik. Dalam laporan-laporan “The Post” berkaitan dengan nara sumber kuncinya dalam kasus ini, dia ditulis dengan nama samaran “Deep Throat”. Istilah ini diambil dari judul sebuah film terporno pada era awal 1970-an, yang menggambarkan permainan seksual secara oral.
Woodward dan Bernstein selama beberapa dasawarsa telah menolak mengungkapkan nama sumber mereka. Pengungkapan skandal Watergate kemudian melahirkan sejumlah buku, film dokumenter dan serangkaian investigasi yang membuat orang terus menerka-nerka siapa sebenarnya si “Deep Throat” itu. Hanya tiga orang, yakni Woodward, Bernstein dan pemimpin redaksi “The Washington Post”, Ben Bradlee, yang mengetahuinya. Namun, mereka sebelumnya telah bersumpah baru akan mengungkapkan nama sumber tersebut jika yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Pada 2005, si “Deep Throat” akhirnya terungkap jati dirinya oleh nara sumber itu sendiri. Dia adalah, Mark Felt, orang nomor dua di Biro Penyelidik Federal (“Federal Bureau Investigation” – FBI) AS.. Dialah yang selalu memasok informasi rahasia kepada kedua wartawan itu, baik di garasi parkir bawah tanah dalam kegelapan malam maupun melalui tanda atau isyarat di pot-pot bunga yang disepakati. Mark Felt meninggal dunia 18 Desember 2008 dalam usia 95 tahun.
Kedua wartawan “Post” tersebut berhasil membongkar skandal politik yang terjadi pada awal 1970an setelah markas besar Partai Demokrat di kompleks perumahan dan kantor Watergate, Washington, diobrak-obrik oleh sekelompok orang yang kemudian diidentifikasi suruhan orang-orang dekat Presiden Nixon. .
Woodward dan Bernstein membuka rahasia itu setelah Majalah Vanity Fair dan keluarga Felt terlebih dahulu mengungkapkan kepada publik peranan Felt sebagai informan utama kepada dua wartawan tersebut.
Pengungkapan tokoh “Deep Throat” ini mengakhiri salah satu misteri politik dan jurnalistik terbesar dalam masa modern dan menutup spekulasi para sejarawan dan politisi selama tiga dasawarsa terakhir mengenai siapa sesungguhnya orang (“Deep Throat”) yang dimaksudkan.
Seorang cucu Felt pada hari yang sama juga mengatakan kepada para wartawan bahwa kakeknya adalah ”pahlawan Amerika” atas peranannya dalam mengungkapkan skandal Watergate.
Kecaman dan kritik berdatangan dari sejumlah tokoh kunci semasa pemerintahan Presiden Richard Nixon terhadap Felt, setelah pengakuannya dikonfirmasi Woodward dan Bernstein. Para pengecam menyatakan, Felt telah melanggar etika profesi dengan memilih memerangi aktivitas ilegal itu lewat media, dan bukan melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Tetapi, Felt agaknya tidak ingin menggadaikan kejujuran nuraninya.
Hikmah lain dari buku ini adalah adanya satu prinsip yang begitu dahsyat tentang keberlanjutan eksistensi seorang warftawan. Kedua wartawan itu menulis bahwa wartawan terbaik dapat diselamatkan dari kehancuran berkat kepiawaian redaktur.
Pesan dari kalimat ini bahwa seorang redaktur menempati posisi pusat bagi sukses dan baik-buruknya seorang wartawan. Jika seorang redaktur tidak menjadi panutan bagi para wartawan, maka tunggulah kehancuran mereka. Tentu saja, di sini, aturan redaksional, kode etik jurnalistik, dan rambu-rambu jurnalisme lainnya yang tidak tertulis (konvensi, berdasarkan perjanjian) harus ditaati oleh para wartawan itu sendiri.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan kita di Makassar? Masihkah kode etik jurnalistik ditegakkan dan sebuah berita harus diedit dan diperiksa oleh seorang redaktur seperti pada masa saya di media cetak dulu? (Bersambung).