Catatan Perjalanan ke Sulbar (2)
Dicabar ki dengan Angin dan Hujan
BugisPos — Setelah berfoto bersama, tim BugisPos & Collaboration Pray for Sulbar memulai perjalanan, disempatkan berfoto karena hujan sedikit bertoleransi memberikan kesempatan mengambil dokumentasi.
Saya yang didapuk sebagai ketua tim, karena kebetulan jadi Wakil Pemimpin Redaksi di BugisPos atau mungkin juga karena memang umur yang agak lebih dari yang lain, berada dimobil expander, tepatnya dibarisan kedua. Pada barisan depan Anto (driver) dan Yanti, saya dan Adi memilih duduk di baris kedua sedangkan Zul memilih “ta’cappi (terjepit) dikursi belakang disela-sela tumpukan barang. Sedang di mobil pick up, pasangan suami istri Ullah dan Asmi yang enggan dipisahkan dengan alasan “kalau ngantukka bawa mobil, ada yang cubit ka” didampingi oleh Pak Lurah.
Baru saja meninggalkan kantor on the way (otw) Sulbar, langit sepertinya agak berkonfromi dengan kita, walaupun agak reda meneteskan airnya, namun sepertinya bersikukuh untuk tetap membasahi bumi.
Kendaraan melaju dengan kecepatan rata-rata 60 km/perjam berjalan beriringan meninggalkan Kota Makassar.
Memasuki Kota Maros, kami berhenti sejenak di SPBU selain mengisi bbm untuk pick up, juga para personil bergantian membuang sauhnya (kencing). Adi dan Pak Lurah juga berkesempatan memperbaiki spanduk yang diikat dimobil, yang karena hujan tadi, tali pengikat spanduk sempat terlepas. Hal ini dimanfaatkan Yanti untuk merubah formasi, agar katanya bisa terlelap diperjalanan.
“Om, kita mo deh yang didepan, mengantukka bela, mau ka tidur,” pintanya kepadaku agar bisa bertukar tempat.
Anto sang driver sempat berseloroh, “deh.. berat sebelahki ini mobil karena gajah dan anak gajah disebelah kiri semua ki.”
“Tidak seimbang ki om,” coddo (timpal) Adi sang pengantin baru, yang katanya terpaksa ikut karena landasan becek (bercanda ja nah).
Kami kembali berjalan hingga keluar Kota Maros, mendekati batas kabupaten Maros dan kabupaten Pangkep, langit sepertinya ingin menguji tekad kita, dia mulai mengeluarkan seluruh simpanan airnya menyirami kami disepanjang perjalanan. Air dari langit terus turun menghalangi pandangan, jalan raya sekejap menjadi genangan, lubang tambalan jalan sudah tak terlihat lagi. Untuk memecah keheningan saya mencoba memancing tawa, “Ombatt keras, tidap mabutt.” Sekonyong-konyong segala perbendaharaan canda keluar semua, mulai dari kencing di botol, hingga kencing di bus membuat kantuk dan rasa was-was hilang seketika.
Pantau Tim
Ketika mulai meninggalkan kota Pangkep, Anto sang driver tangguh yang katanya yang punya Sulbar sepotong (julukan dari tim) mulai menginjak gas lebih dalam, sehingga meninggalkan pick up jauh dibelakang.
Sesekali Pak Lurah memanggil dari WA grup, “Pantau tim, pantau tim, posisi ganti,” panggilnya. Setiap pergerakan mulai saling memantau, karena hujan yang membuat jarak antara kita (bukanji harta yang membuat jarak antara kita seperti nonton sinetron). Mulai dari kecepatan hingga keadaan jalan, kami komunikasikan di WAG seperti layaknya Handy Talky. Kata Pantau Tim menjadi populer bagi kami.
Memasuki Segeri Pangkep, hujan dan angin mulai menunjukkan keangkuhannya, seakan mempertontonkan powernya dihadapan para pengguna jalan. Hujan dan angin seakan kompak mulai mencabar (menantang) perjalanan kami, tangannya yang kuat mulai menggenggam pohon yang mulai nampak pasrah diombang ambing kekiri dan kekanan. Hujanpun dengan gaharnya mulai meninju kaca mobil kami hingga mengganggu penglihatan. Akhirnya kuputuskan, “pantau tim, pantau tim….mengingat saat ini hujan dan angin yang sangat deras dan dikhawatirkan pohon akan tumbang, maka sebaiknya singgah ditempat aman, jangan memarkir kendaraan dibawah pohon,” kataku sangat khawatir.
Lebih kurang 10 menit kami berhenti di depan mesjid, kami mulai berjalan kembali. Walaupun hujan masih deras, namun tidak se ekstrim tadi. Kami mempersilahkan pick up berjalan di depan kami, agar kami dapat memantaunya. Maklum amanah yang diberikan sebagian besar berada disana, tentu kami tak ingin amanah itu rusak karena hujan.