Catatan Perjalanan ke Sulbar (7)
Atur Sumbangan Sampai Pagi Tongeng
BugisPos — Yanti dengan gaya emak-emak kompleks mulai mengambil ancang-ancang mengatur barang yang akan didistribusikan besok.
“Om, manaki itu kantong plastik merah, mau memang mi diatur barang, supaya besok sisa diantarki,” perintahnya.
Mendengar itu, saya kemudian mengarahkan Adi untuk mengambil di dalam mobil dan menyerahkan kepada Yanti.
Dalam satu kantong kresek ukuran 40 itu Yanti mulai memilah barang agar 1 KK dapat 1 kantong paket lengkap. Dalam 1 kantong, diisi beras 5 kg, susu, mie instan, popok bayi, sarung, selimut, tikar, biskuit dan pakaian dalam wanita dibagi terpisah karena kami tidak tahu ukuran celana maupun bra yang akan dibagikan.
Pak Anto yang sejak tiba tadi mengambil posisi berbaring diruang tengah, posisinya mulai terancam dengan tubuh ditutupi bungkusan. Entah Yanti sengaja atau tidak, akibat bungkusan yang diatur Yanti mulai mengusik Pak Anto.
“Ngapa mi ini Yanti, belum badannya besar nakasi sempitki lagi dengan barang,” keluh Pak Anto yang mengguling badannya lebih ke pinggir ambal.
“Ciddako, Om Anto, kenapaka pergi tidur dekat sini. Na liatki atur barang pergi ki tidur disini,” cerca Yanti nyerocos dan dengan sengaja menumpuk barang ditubuh Pak Anto kemudian mengerling kepadaku.
“Ka saya duluan tidur disini, battala (gemuk) poeng bikin sempit-sempit saja,” balas Pak Anto bangkit dari tidur lalu mengucek matanya.
Yanti yang hanya dibantu oleh Akhsan sang tuan rumah mulai kewalahan. Dia kemudian mulai pote-pote (ngomel) meminta bantuan Adi dan Pak Lurah. Saya sendiri ikut membantu, cuma membantu dengan doa, karena doa itu merupakan penyemangat yang lebih kuat dari tenaga. Karena bantuan para andalan, maka pekerjaan yang menumpuk langsung beres seketika.
Malla-Malla Semua ki Tidur
Kira-kira pukul 03.00 dinihari pekerjaan sudah beres semua. Karena dianggap sudah beres semua tuan rumah menganjurkan untuk tidur, dia sendiri sudah masuk ke kamar. Ambal yang tadi terlipat dua, mulai dibuka untuk dipake tidur.
Masalah baru dimulai, badan yang lelah dan pegal tidak bisa terbayar dengan istirahat karena semua malla-malla (takut) tidur. Padahal ada kamar disediakan untuk wanita dan ruang tengah dikhususkan untuk pria.
Yanti masuk kekamar ternyata hanya mengambil bantal. “Disini ma saya Om, tidak bisaka didalam panaski,” ucapnya seraya merebahkan badan. “Fikaarrr, disini mako, nak disampingku tidur,” panggilnya.
Fikar cuma berbisik, “malla-malla ka saya Om nanti gempa ki”. Cuma karena panggilan dari “mamanya” adalah perintah maka rasa was wasnya terkalahkan dan ikut berbaring disamping Yanti.
Pak Lurah yang kurang diperhatikan sejak tadi, ternyata sudah lebih duluan berlabuh di alam mimpi, ini diketahui setelah nada-nada indah begitu indah terasa bagai sebuah memori mengayun mesra mengusik telinga (mendengkur) terbaring seksi diatas kursi.
Saya yang sejak tadi sok tegar, mengambil posisi teraman menurut analisaku karena lebih dekat dari pintu, walaupun saya cukup mengalah (melantai), memilih tidur di ubin didampingi oleh Ullah yang tidur didepan pintu kamar menjaga permaisurinya. Kebetulan A. Asmi (istri Ullah) yang sudah mendapat pijatan sayang dari suami telah tertidur pulas di dalam kamar sendirian.
Walaupun rasa was-was menyelimuti, namun kantuk lebih memiliki kuasa atas diri kita, maka setelah beberapa mata, suasana jadi hening. Setelah celingak celinguk sendirian akhirnya saya ikut tertidur juga.