Tabe, Pj Wali Kota Jangki Atur-atur Tugas Wartawan Kodong
BugisPos — Sungguh mengejutkan atas munculnya sebuah berita di salah satu media online di Makassar, yang berjudul : Pj Wali Kota Makassar Minta Media Tidak Pusingi ASN yang Mau Pindah
Dalam berita tersebut, Pj Wali Kota Makassar, Prof Rudy Djamaluddin, mengingatkan wartawan untuk tidak mengurusi perihal adanya ASN yang ingin pindah.
Sama dengan dia mau makan nasi goreng, nasi kuning masa sampai begitu kita harus urusi, kata Prof Rudy ketika ditemui awak media di Rumah Jabatan (Rujab) Walikota Makassar, Rabu, 03/02/2021.
Mengapa hal ini saya nyatakan sebagai sesuatu yang mengejutkan. Bahkan mungkin saja itu adalah sesuatu yang berlebihan. Sebab sesungguhnya tidak semestinya seorang Pj Wali Kota bicara demikian terhadap profesi wartawan.
Wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers No.40 tahun 1999, dan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, memiliki fungsi menyampaikan informasi ke publik, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.
Sebetulnya, soal wartawan yang mencoba menelusuri dan memberitakan soal ASN yang konon ramai-ramai bermohon ke Pj Wali Kota untuk pindah tugas ke Pemprov Sulsel, kabarnya menurut berbagai sumber, hal itu dilatari oleh kekalahan paslon yang mereka dukung di Pilkada Wali Kota Makassar 2020 yang lalu.
Memang ketat regulasi mengatur ASN wajib netral di Pilkada, tetapi faktanya di lapangan, justeru ASN di Pemkot Makassar terkesan sebagian besar berpihak, atau diarahkan untuk berpihak pada salah satu paslon tertentu. Di situlah sesungguhnya ASN di Makassar menjadi rumit dan mungkin saja bikin stres.
Wacananya mungkin mengatakan, bila paslon dukungan mereka ini menang, maka amanlah kedudukan mereka pada tempatnya, atau akan naik kelas misalnya pada posisi yang lebih baik.
Tetapi ketika paslon mereka keok, maka muncullah sejenis frustrasi, sehingga memunculkan gerakan perpindahan dari Pemkot Makassar ke Pemprov Sulsel yang berselimut rasa takut. Takut mungkin akan nasib non job selama lima tahun ke depan. Mereka mungkin saja takut kehilangan jabatan yang selama ini mereka duduki.
Sebetulnya, dalam pandangan saya, mereka ASN ini sesungguhnya tak perlu memelihara rasa takut yang berlebihan seperti itu.
Bahwa jabatan itu adalah rezeki. Sedang rezeki, kelahiran, kematian, dan jodoh. Semua itu menjadi rahasia Tuhan. Sebelumnya tak ada yang pernah menyangka bahwa si A akan menjabat Kadis Anu, si B akan menjabat Camat ini. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Sebelum mereka ini dilantik, sebetulnya pimpinan yang melantik itu juga minta petunjuk Tuhan, tentang keputusan yang terbaik. Artinya, semua menjadi keputusan Tuhan tentang siapa mendapatkan jabatan apa. Dan hal inilah yang terkadang dilupakan oleh umat manusia.
Sebagai manusia yang percaya adanya Tuhan, sebaiknya tawakkal saja dan berdoa untuk mendapatkan yang terbaik. Kalaupun ada yang mungkin saja mendapatkan nasib non job, pasti ada hikmah di balik itu.
Bahwa perlu dipertimbangkan, bila pindah ke Pemprov, itu sudah pasti hanya akan menjadi pegawai biasa saja. Untuk mendapatkan jabatan ya mestilah ikut lelang jabatan. Apa mungkin di lelang jabatan itu bisa lolos? Tentu saja itu belum tentu.
Kembali lagi ke soal Pj Wali Kota yang mengutak-atik tugas Wartawan, sebaiknya hal itu ke depan tak lagi dilakukan. Saya ingin mengajak Pj Wali Kota, untuk dapat memahami lebih mendalam tentang tugas dan fungsi Pers yang berada pada pilar ke empat di negeri tercinta ini.
Jangankan Pj Wali Kota, Wartawan itu bisa melakukan sosial kontrol pada pejabat siapa saja di negeri ini, bila dalam kebijakan atau langkah mereka yang menjadikan dirinya untuk patut dikontrol. Itu amanah Undang-undang No.40/1999 tentang Pers Dan kita perlu memahami, bahwa Undang-undang No.40/1999 ini sengaja tidak memiliki Peraturan Pemerintah (PP), sebab pemerintah menyerahkan ke masyarakat Pers melalui Dewan Pers, untuk mengaturnya sendiri sesuai kebutuhan dan perkembangan Pers yang terjadi.
Sejak berlakunya Undang-undang Pers ini, Dewan Pers mengatur semua media yang terbit wajib memiliki SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Selanjutnya, regulasi SIUPP diubah menjadi verifikasi usaha pers dan wartawan yang kompeten.
Usaha media diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi, dan wartawan yang dipekerjakan wajib menjalani uji kompetensi wartawan (UKW) dalam tiga tingkatan, yakni wartawan muda, madya, dan wartawan utama.
Dan hanya media yang pemimpin redaksinya lulusan Wartawan Utama Dewan Pers, yang medianya bisa lolos verifikasi Dewan Pers. Verifikasi itu sendiri terdiri dua tahap, yakni tahap verifikasi administrasi dan verifikasi faktua.
Ke depan, pemerintah yang menggunakan uang negara dalam berkerjasama publikasi dengan media, hanya boleh dilakukan dengan media terverifikasi Dewan Pers. Bila bekerjasama dengan media yang belum terverifikasi, akan menjadi temuan BPK. Dan hal itu kini sedang disosialisasikan ke pejabat keuangan di negeri ini ***