Catatan Perjalanan ke Sulbar (10)
Pak… Ada yang Beginikah ?
BugisPos — Kebahagian bercampur haru tergambar diwajah-wajah anggota tim ketika membagikan bantuan. Walaupun nilainya tak seberapa namun keindahan sewaktu memberi itu merupakan nikmat yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata ataupun digoreskan melalui pena para penyair.
Mobil bergerak sedikit demi sedikit, singgah disetiap titik pengungsian untuk menurunkan bantuan. Sesekali saya menepis tangan-tangan jahil anak-anak yang ingin menarik sesuatu dibalik bungkusan. Rencana untuk mendokumentasikan setiap momen ditempat itu, buyar seketika karena sibuk menjaga, mengatur dan mendistribusikan setiap paket sumbangan.
Kembali suara “ada bantuan” kembali menggema, beberapa kelompok warga yang didominasi ibu-ibu dan anak-anak sesekali mengerebuti mobil.
“Pak, mintaka air ta” pintanya kepadaku, saya bergegas memberikan sedos air mineral. “Pak, ada popok,” pinta seorang lagi, saya menarik segantung popok yang berjumlah 10 buah untuk saya sodorkan.
“Pak, pak, pak,” panggil mereka, saya mulai kewalahan menghadapi serbuan para ibu dan anak-anak. Kuambil sekantong pakaian bekas untuk diperebutkan mereka, agar perhatian mereka sedikit terpecah. Taktik saya berhasil, mereka kemudian berebut pakaian bekas dalam kantong tersebut. “Cakar,cakar,” teriak mereka memanggil pengungsi lain untuk saling berebut.
Setelah momen rebutan cakar, mobil kemudian bergerak perlahan menuju titik pengungsian yang lagi-lagi didominasi ibu-ibu. Akhirnya door price dari bantuan keluar juga. Pakaian dalam wanita hasil sumbangan Toko Barkah Jaya kemudian kita buka. Para ibu-ibu mulai berdatangan untuk berebutan, takut tidak kebagian.
“Saya pak yang ukuran XL,” pinta salah satu ibu. “Kasi juga kodong temanku, 3 orangka di kemahku kasihan,” pintanya kepadaku untuk ditambah karena saya hanya membagikan 1 cd dan 1 bra buat mereka. “Pak, bisa diganti ini BH, kasika yang ada kawatnya,” kata salah seorang ibu kepadaku. “Maaf ka ibu begituan ji kubawa, karena bukan ki penjual, tidak ditau ki juga bh jenis apa yang dipake,” jawabku sedikit bercanda. “Baru ji ini kah,” protesnya. “Liat maki masih ada mereknya tertulis baru,” timpalku lagi-lagi bercanda. Para bapak yang tadi malu-malu mulai juga berdatangan untuk meminta bagian, tentu bukan untuk dirinya, pasti untuk istrinya yang tercinta di tenda yang tak sempat menyelamatkan pakaian terpenting mereka.
Betul saja, seluruh bapak-bapak mulai ikut berebutan dan diantara mereka saling bercanda dengan bahasa daerah mereka. Walaupun saya tak mengerti seluruhnya, namun saya faham maksudnya, mereka membandingkan ukuran-ukuran yang dipakai istrinya masing-masing. Beberapa dari mereka terlihat saling menukarkan barang mereka, maklumlah tadi mereka berebutan sehingga tak sempat lagi memilih ukuran masing-masing.
Dalam tempo sekejap barang di mobil sudah habis, ketika mobil mulai bergerak, seorang bapak yang bertubuh kecil memakai topi putih mengejar laju mobil yang memang berjalan cukup perlahan.
“Pak… Pak… tolong pak, ada yang begini kah ?” Tanyanya kepada Adi sembari kedua tangannya menyimbolkan benda penutup ehemmmm wanita di dadanya.
“Habis mi yang beginian,” balas Adi mengikuti pola bapak tadi dengan gaya khasnya.
Tampaknya bapak tadi agak malu untuk menyebut bra kepada kami. Karena melihat bapak-bapak rekan sejawatnya yang saling bertukaran CD tadi. Sehingga rasa malunya ditepis untuk meminta.
Setelah barang di mobil betul-betul sudah tersalurkan. Kami memutuskan untuk meninggalkan desa Kayu Angin. Berhubung waktu Ashar sudah sejak tadi lewat, maka kami singgah untuk shalat di Masjid Agung Malunda yang sudah retak hampir diseluruh bangunan.
Mulai dari tembok mimbar yang sudah runtuh. Seluruh pilar juga pada retak, malah beberapa pilar utama, beton pada pilar sudah berserakan keluar sehingga memperlihatkan tonjolan besi cor pada pondasi pilar. Plafon mesjid juga sudah jatuh dibeberapa sisinya.
Kami shalat jamaah ditengah-tengah bangunan masjid yang biasanya kokoh berdiri kini mulai rapuh dan sepertinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya itu.