HTTP Status[404] Errno [0]

Matemija, Pemerkosaan Malam Pengantin di Mesir

17 July 2021 23:21
Matemija, Pemerkosaan Malam Pengantin di Mesir
Ilustrasi

BugisPos — Sejumlah perempuan di Mesir berupaya melawan sikap bungkam terkait pelecehan seksual. Salah satu perlawanan terkini adalah menentang pemerkosaan dalam pernikahan, sebuah topik yang selama ini dipandang sebagai aib dan tabu.

Peringatan: Artikel ini memuat pemaparan mengenai kekerasan seksual.

Pada malam pertama pernikahannya, Safaa diperkosa oleh suaminya. Serangan itu menyebabkan perempuan berusia 34 tahun itu mengalami luka-luka pada selangkangan, pergelangan tangan, dan mulutnya.

“Saya sedang haid dan tidak siap berhubungan seks malam itu,” kata Safaa dilansir dari BBC indonesia

“Suami saya mengira saya menghindari hubungan intim dengannya. Dia memukuli saya, memborgol saya, membungkam suara saya, dan memerkosa saya,” imbuhnya.

Akan tetapi, Safaa menolak melaporkan suaminya ke polisi karena takut pada stigma sosial. Sikap menyalahkan korban jamak terjadi di negara dengan masyarakat budaya patriarkat, apalagi jika korbannya perempuan.

Titik balik terjadi pada saat Ramadan, bulan April lalu. Ketika sebuah serial televisi berjudul Newton`s Cradle menayangkan adegan seorang suami memaksa berhubungan intim dengan istrinya.

Bagi banyak perempuan, episode itu membangkitkan kenangan buruk tapi sekaligus memberikan keberanian untuk berbagi pengalaman di media sosial.

Dalam beberapa pekan, ratusan testimoni bermunculan di dunia maya, termasuk 700 warganet dalam sebuah laman Facebook bertajuk Speak Up.

Di antara 700 orang tersebut, ada Sanaa yang berusia 27 tahun.

“Dulunya suami saya seperti malaikat buat saya. Setahun masa pernikahan, saya hamil dan akan melahirkan,” tulisnya dalam laman itu. “Kami bertengkar soal sepele dan dia memutuskan menghukum saya.

“Dia bersikap kasar dan memerkosa saya. Saya keguguran.”

Sanaa memutuskan untuk bercerai dan kini hidup terpisah dari suaminya. Namun, dia masih berduka atas janinnya yang gugur.

Aksi kekerasan dan hubungan seks disertai kekejian banyak terjadi di Mesir, khususnya saat malam pertama pernikahan.

Topik ini kian panas manakala seorang mantan istri penyanyi terkenal berbagi kisahnya melalui Instagram soal tuduhan pemerkosaan dalam pernikahan. Video perempuan itu bercerita sembari menangis menjadi viral dan banyak diberitakan.

Sang penyanyi merespons tuduhan itu dengan mengunggah video di Instagram. Dalam video itu, dia menyebut perkataan mantan istrinya “tidak berdasar”.

Mantan istrinya lantas menyeru agar sistem hukum di Mesir diubah sehingga pelaku aksi pemerkosaan dalam pernikahan dipidana.

Menurut kajian pada Januari 2015, Dewan Nasional Perempuan (NCW) yang bernaung di bawah pemerintah mencatat setiap tahun rata-rata terdapat lebih dari 6.500 kasus kekerasan pasutri yang melibatkan pemerkosaan dalam pernikahan, pelecehan seksual, dan praktik pemaksaan seksual.

“Pemerkosaan dalam pernikahan terjadi karena ada budaya di Mesir yang meyakini bahwa pernikahan mengharuskan istri tersedia 24 jam dan tujuh hari untuk hubungan seks,” kata Reda Danbouki, seorang pengacara dan direktur eksekutif Pusat Bantuan dan Kesadaran Hukum untuk Perempuan.

Keyakinan itu, sambung Danbouki, didasari pada tafsir agama yang menggolongkan perempuan sebagai “pendosa” dan “dikutuk malaikat sepanjang malam” jika menolak berhubungan seks dengan suaminya.

Guna menuntaskan perdebatan ini, Dar al-Ifta selaku lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa di Mesir, merilis pernyataan:

“Jika suami menggunakan kekerasan untuk memaksa istrinya berhubungan seks, sang suami adalah pendosa dan sang istri punya hak untuk ke pengadilan dan mengajukan tuntutan agar sang suami dihukum.”

Meski pernyataan itu telah dilontarkan, Pusat Bantuan dan Kesadaran Hukum untuk Perempuan masih mencatat 200 kasus pemerkosaan dalam pernikahan selama dua tahun terakhir. Sebagian kasus itu disebabkan apa yang dikenal sebagai “ketakutan malam pertama”, kata Danbouki.

Hukum di Mesir tidak menggolongkan pemerkosaan dalam pernikahan sebagai tindak pidana, padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengategorikan tindakan itu sebagai bentuk kekerasan seksual.

Pengadilan pun sulit membuktikannya. Sebagian besar kasus dugaan pemerkosaan dalam pernikahan di pengadilan tidak berujung pada vonis hukuman akibat Pasal 60 Kitab Hukum Pidana Mesir.

“Aturan dalam Hukum Pidana tidak diterapkan pada perbuatan yang dilakukan dalam iktikad baik, yang haknya telah ditentukan dalam hukum Syariah,” sebut pasal itu.

Akan tetapi, Danbouki berargumen, pemerkosaan dalam pernikahan bisa dibuktikan dengan “memeriksa seluruh tubuh guna mencari lecet, cedera pada bagian luar. Luka di sekitar tubuh harus dicari, begitu pula dengan pergelangan tangan”.

Perubahan kerap lambat terjadi di Mesir lantaran nilai-nilai konservatif masih mendominasi. Namun, bagi para korban pemerkosaan dalam pernikahan, suara mereka mulai didengar.

Safaa dan Sanaa bukan nama sebenarnya. Nama mereka disamarkan guna melindungi identitas mereka (*)

484 Views

Bugispos.com adalah media online yang
menyajikan berita terbaru dan populer, baik hukum, kriminal, peristiwa, politik, bisnis, entertainment, event serta berita lainnya