Guru Syekh Yusuf, Lo’mo Ri Antang, Hidup ki Kembali Setelah Dikubur di Laut
BugisPos.com — Syiar agama Islam yang dilakukan oleh Lo’mo Ri Antang, tak lepas dari syiar agama yang dilakukan oleh Dato’ Paggentungang. Demikian simpulan yang didapat Wartawan BugisPos dari sejumlah literatur dan hasil penelusuran pada berbagai sumber. Banyak kisah yang didapatkan, yang selama ini nyaris tak pernah diketahui halayak umum.
Wartawan BugisPos saat mengunjungi makam I Lo;mo Ri Antang, lebih dulu bertandang ke rumah Dg.Sillo (70), di Jl.Antang Raya, di sekitar pertigaan Jl.Borong Raya, Kelurahan Antang Kec.Manggala.
Dia adalah juru kunci makam, dan masih keturunan I Lo’mo Ri Antang. Dulu, tepat di belakang rumah sang juru kunci, berdiri kokoh rumah panggung berarsitektur adat Makasssar. Rumah itu jadi kediaman ulama besar I Lomo Ri Antang. Tapi sayang, karena perselisihan keluarga, tanah dan rumah bersejarah bagi perkembangan Islam di Makassar itu, telah dipindah-tangankan, dan kini telah beralih fungsi jadi ruko. Rumah dipindahkan kedalam gang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sungguh memiriskan memang, situs sejarah Islam yang sebenarnya harus dilestarikan, terancam bakal punah. Hilangnya sejarah itu merupakan kiamat kecil bagi peradaban manusia di masa yang akan datang.
Syiar agama cara I Lo’mo Ri Antang, dilakukan dengan menjadikan dirinya contoh dalam beribadah. Ajarannya, termaktub dalam sebuah kitab yang berjudul “Lontara’na Lo’mo Ri Antang”. Yang hanya dapat dibuka pada waktu tertentu, yaitu pada bulan-bulan biasa hanya dibuka pada hari ketujuh kemunculan bulan dan hari ketujuh sebelum bulan tenggelam.
“Tujuh pammumbana bulangnga siagang tujuh pammatena bulangnga, jadi hanya dua kali sebulan pada bulan biasa”, jelas Dg Sillo. “Pada bulan Ramadahan kitab dibuka dan dibaca setiap hari, sedangkan pada bulan dzulhijjah atau bulan haji dibuka tiga hari berturut-turut, yaitu pada hari-hari tasyriq 11, 12, 13 dzulhijjah”. tambahnya.
Pada akhir kitab Lontara , tertera stempel berwarna merah berbentuk bintang lima, dan di bawahnya tertulis dengan huruf arab gundul tulisan
“Jafar Shadiq” yang menurut Dg. Sillo merupakan cucu dari Nabi Muhammad. “Di akhir tulisan ada juga tertulis ; “Hasanuddin”, entah itu nama dari I Lo’mo Ri Antang atau tulisan Sultan Hasanuddin, Saya tak tahu pastinya, nak !” kata Dg. Sillo dengan tutur kata yang sangat hati-hati. Agaknya tutur kata Dg.,Sillo menandakan kesakralan kitab peninggalan I Lo’mo Ri Antang. Selain kitab Lontara, ada juga benda peninggalan lainnya antara lain berupa bendera merah putih.
Melepas Niat
Areal makam tak jauh berbeda dari makam Dato Ri Paggentungang yang nampak terawat dengan baik. Di sebelah kanan makam terdapat pohon besar dengan akar yang menjuntai ke tanah. Dahan dan daunnya menaungi bangunan makam. Di sebelah maka ada papan bertuliskan ; Perlindungan Situs Purbakala dari Departemen Kebudayaaan dan Pariwisata Makassar.
Makam bercat putih, lantainya memakai tegel warna hijau, berbentuk segi delapan dengan ukuran 5 x 7 m persegi. Terdapat dua pusara, yaitu makam Lo’mo Ri Antang dan makam istrinya, I Daeng. Diluar makam, terdapat juga makam yang agak kecil, yakni makam Bongga Kanangna, yang disebut juga dengan gelar Pajagayya, atau ajudan yang mengurus keperluan I Lo’mo Ri Antang..
Pada tiang makam, banyak terdapat daun pandan yang terikat. Ada yang masih hijau tapi banyak pula yang sudah kering. Menurut Dg. Beta (50) penerus juru kunci makam dari Dg.Sillo yang juga merupakan pamannya sendiri. Dia mengatakan, peziarah bukan hanya datang dari masyarakat Makassar, tetapi juga ada yang datang dari Kalimantan bahkan dari Malaysia.
Sebelum mengikat daun pandan, biasanya para peziarah melakukan nazar terlebih dahulu. Mereka berniat apabila nazarnya telah terlaksana mereka akan datang kembali untuk melepaskan ikatan tersebut. Dalam ritual melepas ikatan tersebut, kebanyakan dari mereka juga membawa penganan dari beras ketan yang masyarakat sekitar disebut “songkolo” untuk diberkahi. Tak jarang dari peziarah juga membawa hewan untuk qurban, biasanya berupa kambing bahkan sapi, tergantung dari nazar mereka masing-masing. Ada juga dari mereka yang tidak menyembelih hewan yang mereka bawah. Cukup dilepas saja di areal makam, ritual semacam ini biasanya disebut juga dengan nama Appalappasa niat atau melepas niat.
Meninggal di Laut
Dg.Sillo berceritra, dengan mengutip dari kisah-kisah Lontara Bilang (catatan harian), bahwa pada perjalanan Syekh Yusuf ke tanah Mekah dengan menumpang kapal Melayu tahun 1644, ternyata dalam perjalanan tersebut ikut pula Lo’mo Ri Antang bersama Syekh Yusuf menunaikan ibadah haji.
Di tengah perjalanan, Lo’mo Ri Antang wafat. Entah apa penyebab wafatnya. Tak disebutkan dengan jelas sebab-sebab wafatnya. Karena dikhawatirkan mayatnya membusuk di dalam kapal, maka nakhoda kapal melakukan prosesi pemakaman laut, atau di dalam Lontara Bilang disebut Di Ladung atau ditenggelamkan ke dalam laut. Setelah prosesi pemakaman, perjalanan dilanjutkan.
Setelah menempuh perjalanan laut, akhirnya kapal yang di tumpangi Syekh Yusuf tiba di dermaga Jeddah. Alangkah ajaibnya, setibanya di dermaga, Syekh Yusuf mendapati Lo’mo sudah berada di sana dalam keadaan sehat wal afiat. Sebagai orang awam, kejadian seperti itu merupakan hal yang mustahil, tetapi tidak bagi orang yang mendekatkan dirinya kepada Tuhan, yang telah menjalani kehidupan ibadah setingkat ma’rifat, seperti Syekh Yusuf dan Lo’mo. Bagaimana bisa orang yang telah nyata wafat dan telah dikuburkan di tengah laut, dapat hidup lagi dan lebih dulu tiba di tempat tujuan.
Maka dari kejadian itu Lo’mo digelari Hayyun Fiddar atau orang yang hidup di dua tempat, sebagai rahmat yang diberikan Tuhan kepada seorang wali yang bergelar I Lo’mo Ri Antang.
Tentang penamaan Antang, menurut Dg. Sillo, suatu waktu sang ulama besar itu melakukan perjalanan ke suatu tempat, dimana dia
merasa sudah waktunya untuk menetap, maka diapun menyatakan sudah mau menetap di suatu tempat. Diapun memilih tanah yang sekarang menjadi kuburannya. Lo’mo pun berkata “Pa’parrekangma balla, ka la mantang ma” artinya “Buatkan Saya rumah, karena Saya sudah mau menetap”. Maka disinilah dia dibuatkan rumah untuk ditempati bersama keluarganya, sebelum menyertai Syeh Yusuf berangkat ke Mekah. Rumah itu disebut dengan Balla Lompoa I Lo’mo Ri Antang. Dari kata mantang inilah maka daerah dimana dia tinggal disebut ‘Antang’ hingga sekarang.
Sekembalinya dari Mekah, disinilah Lo’mo meninggal dunia untuk yang kedua kalinya (zardi)