Sultan Adam, Ini mi Raja Bone Pertama Masuk Islam
BugisPos — Setelah raja Gowa ke XIV bernama I Mangngarangi Daeng Manrabbiya Sultan Alauddin mengucapkan syahadat di hadapan Dato Ri Bandang pada hari Jumat, 9 November 1607 Masehi, maka resmilah kerajaan Gowa menganut agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Sebagai imbasnya, maka kerajaan Gowa mulai menawarkan agama Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangga seperti kerajaan Bone, Buton dan Ternate.
Pada saat itu di kerajaan Bone terjadi pergantian raja yang dilakukan oleh Dewan Hadat Tujuh Bone. Semacam Majelis Permusyawaratan Rarkyat (MPR) zaman sekarang. Pergantian raja tersebut, yakni dari raja Bone ke-X yang mangkat yaitu Watenrituppu Petta Matinroe ri Sidenreng, digantikan oleh kemenakannya yaitu La Tenriruwa Arung Palakka – Arung Pattiro
Kompleks Makam La Tenrirua di kota Bantaeng, sebagai Taman Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (foto : dar)
menjadi Raja Bone ke XI. dia merupakan cucu dari raja Bone ke-VII yaitu La Tenriruwa Bongkangnge Petta Matinroe ri Gucinna. Pengtahbisan La Tenriruwa menjadi raja Bone itu terjadi pada tahun 1611 Masehi, bertepatan dengan ekspansi besar-besaran Raja Gowa ke kerajaan Bone dalam hal penyebaran agama Islam.
Sebelum diangkat menjadi raja, sesunggguhnya La Tenriruwa memang sudah tertarik dengan ajaran agama Islam berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari utusan-utusan Raja Gowa yang diutus ke Bone.
Setelah La Tenriruwa resmi diangkat menjadi raja Bone, dia dengan sukarela menerima ajakan Raja Gowa untuk memeluk agama Islam.
Raja Tiga Bulan
Rupanya ketertarikan La Tenriruwa kepada agama Islam mendapat tantangan dari Hadat Pitue yang masih menganut kepercayaan nenek moyang.
Karena adanya ketidak-cocokan antara Raja Bone dengan Dewan Hadat, maka Dewan Hadat Pitue sebagai pengambil keputusan tertinggi pada saat itu, mengambil alternatif untuk memberhentikan La Tenriruwa sebagai Raja Bone, padahal dia menjabat raja baru sekitar tiga bulan.
Sebagai gantinya, maka Hadat Pitue Bone melantik La Tenripale Toakkeppeng Arung Timurung, anak dari La Inca Raja Bone VIII Petta Matinroe ri Addenenna, menjadi raja Bone ke XII menggantikan La Tenriruwa.
Sebelum pemecatan La Tenriruwa sebagai raja Bone, La Tenriruwa meninggalkan istana menuju ke wilayah Bone Utara, yakni ke daerah Pattiro, untuk menghindari terjadinya perpecahan rakyat Bone yang mendukung dirinya dengan para pendukung Hadat Pitue.
Maka sebagai jalan terakhir, Dewan Hadat Pitue mengutus To Welaung mewakili mereka menuju Pattiro untuk membujuk La Tenriruwa, agar membatalkan niatnya memeluk agama Islam, dan kembali ke agama nenek moyang mereka.
Adapun percakapan La Tenrirua dengan To Welaung adalah sebagai berikut :
Hai To Welaung dikatakan aku membelakangi rakyat, padahal karena kecintaanku kepada rakyat sampai kuajak serta, kuminta dengan sepenuh harapan menarik mereka ke jalan yang benar, yang baik, dan memberikan cahaya terang dan kalian tak mau menerimanya. Silahkan kalian berpegang pada tujuan cita-citamu yang suram dan gelap.
Biarkan kami pilih dan menempuh jalan yang terang, tersingkap cahaya gemilang oleh rahmat dan Tuhan yang maha kuasa yang dirintis oleh nabi pesuruh Allah.
Karena belum mengetahui sikap La Tenriruwa dalam menerima Islam, Raja Gowa kemudian mengutus Karaeng Pettung untuk bertemu Raja La Tenriruwa di Pattiro. Mendengar utusan Raja Gowa menuju Pattiro, Raja Toakeppeng yang baru saja dilantik memerintahkan pasukannya untuk mengepung Karaeng Pettung di wilayah Sibulue dan Pattiro.
Maka terjadilah peperangan antara pasukan Karaeng Pettung dengan pasukan raja Bone, akan tetapi pasukan Raja Bone dapat dipukul mundur hingga ke daerah pegunungan Maroanging. Setelah bertemu dengan Karaeng Pettung, La Tenriruwa beserta keluarga dan pengikut setianya, dengan menggunakan perahu dari Pattiro, berangkat menuju ke Tanjung Pallette untuk bertemu dengan Raja Gowa.
Raja Gowa kemudian berkata kepada La Tenriruwa : Bukan maksud kami untuk memerangi rakyat Bone, akan tetapi kami hanya menawarkan suatu kebenaran yaitu agama Islam. Apabila rakyat Bone mau menerimanya, kami akan segera meninggalkan tanah Bone.
Raja Gowa kemudian meminta La Tenriruwa untuk mengucapkan syahadat di hadapannya. Akan tetapi La Tenriruwa sudah mengucapkan syahadat sebelum datangnya Raja Gowa.
Setelah bertemu dengan La Tenriruwa Andi Sultan Adam, raja Gowa kemudian baru mengetahui telah terjadi pergantian kepemimpinan di daerah Bone, yakni dari Raja La Tenriruwa kepada Raja Toakeppeng.
Kemudian Raja Gowa menanyakan kepada La Tenriruwa wilayah di kerajaan Bone yang masih berada dibawah kekuasaannya. Maka La Tenriruwa menyebut daerah Pattiro, Sibulue dan Mampu, yang merupakan daerah kekuasaannya.
Sedangkan istrinya yang bernama We Baji Lebae ri Mario, menguasai daerah Mario, Mariowawo. Maka terjadilah kesepakatan antara Raja Gowa dan La Tenriruwa.
Raja Gowa Sultan Alauddin dan mangkubumi kerajaan Gowa Sultan Abdullah (Raja Tallo), yang bermarkas di Tanjung Pallette, memerintahkan pasukan kerajaan Gowa yang sudah bersiap siaga di daerah Cellu, untuk segera menyerang kerajaan Bone yang sedang dipimpin oleh Raja Toakeppeng Arung Timurung.
Akhirnya kerajaan Bone berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa. Lalu di kemudian hari dan Raja Toakeppeng beserta rakyat Bone resmi memeluk agama Islam.
Memilih Bantaeng
La Tenriruwa beserta keluarga dan pengikut setianya, kemudian meninggalkan kerajaan Bone menuju Kerajaan Gowa. Dia kemudian memperdalam agama Islam dibawah bimbingan Dato Ri Bandang. Dato Ri Bandang memberi nama Sultan Adam kepada La Tenriruwa.
Dia diberi nama Sultan Adam, karena La Tenriruwa merupakan raja Bone pertama yang memeluk agama Islam. Sesuai dengan nama Adam yang merupakan manusia pertama di muka bumi.
Raja Gowa kemudian memberikan pilihan kepada La Tenriruwa untuk memilih daerah sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahannya sendiri, sebagai Daerah Otonom. Jadi system pemerintahan yang menganut otonomi daerah ternyata sudah dikenal pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, yang merupakan Raja Gowa pada waktu itu.
Atas pilihan yang ditawarkan oleh raja Gowa Sultan Alauddin, Sultan Adam kemudian memilih Bantaeng sebagai tempat tinggalnya, dia bersama istrinya We Baji Lebae ri Mario dan para pengikut setianya. Di Bantaeng Sultan Adam menyebarkan agama Islam yang lebih luas ke daerah-daerah sekitarnya.
Kompleks pemakaman Sultan Adam, bersama isteri dan para pengikutnya di kota Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, serta makam raja-raja Bantaeng berikutnya, kini menjadi Cagar Budaya dibawah Departemen Purbakala Nasional.
Untuk diketahui, La Tenriruwa merupakan datuk dari Arung Palakka Petta Malampee Gemmena. Melalui silsilah sebagai berikut :
Dari perkawinan La Tenriruwa dan istrinya We Baji Lebae ri Mario, lahir anak wanita beranama Wa Tenri Sui Datu Mario Wawo, yang menikah dengan Lopottube Arung Tanatengngah Datu Lompulle (Soppeng), maka lahirlah La Tenritatta To Appatunru Daeng Serang Arung Palakka Petta Malampee Gemmena Matinroe ri Bontoala.
La Tenriruwa, selain menjadi Raja di Bantaeng, dia juga merupakan penyebar agama Islam di daerah Bantaeng dan sekitarnya hingga ke daerah Bulukumba, sehingga dapat dikategorikan sebagai wali, karena sepanjang hidupnya dia terus mengajarkan dasar-dasar agama Islam di daerah itu, dan hingga saat ini daerah Bantaeng termasuk daerah yang memiliki masyarakat yang religius.
Dia kemudian wafat di daerah Bantaeng dan dimakamkan di sisi makam istri beserta para pengikut setianya. Itulah hingga dia mendapat gelar anumerta LA TENRIRUWA SULTAN ADAM PETTA MATINROE RI BANTAENG.
Keturunan La Tenriruwa
Keturunan La Tenriruwa yang tercatat dalam sejarah, memang hanya sebatas pada nama cucu langsungnya, yakni Arung Palakka, si pembebas rakyat Bone dari penjajahan kerajaan Gowa.
Nama-nama keturunannya yang lain, tak pernah dicatat secara eksklusif dalam sejarah, apalagi keturunan La Tenriruwa yang ada di daerah Bantaeng dan sekitarnya, nyaris tidak ada yang mengetahuinya.
Bahkan penjaga makam La Tenrirua di Bantaeng sekali pun, yang sempat ditemui BugisPos, tidak tahu silsilah keturunan La Tenrirua yang sebenarnya.
Pertengahan November 2010, Wartawan BugisPos ikut bersama salah satu keluarga yang merupakan keturunan La Tenriruwa yang bermukim di daerah Bulukumba, saat berziarah ke makam La Tenriruwa, yakni Tanwin Djamar bersama suaminya, M.Nawir, serta dua anaknya, yakni Putriani Etna dan Achmad Fahrial.
Tanwin Djamar yang kini tinggal di Jl.Setapak 5 Tamalate IV Perumnas Panakkukang, Makassar, adalah putri dari Puang Maro (alm). Puang Maro yang meperisterikan puang Djanabe, kemudian melahirkan sebanyak 7 anak, yakni ; Hj.Djawariah (alm), Hj.Masalang, Hj.Warda Intang (alm), Manradjuni, Tanwin Djamar, Hj.Nasyirah (alm) dan Hj.Rosmiati (alm). Puang Maro, adalah putra dari Puang Monggo (alm) yang merupakan keturunan dari La Tenriruwa. Tanwin Djamar bersaudara, adalah keturuna lapis ke delapan dari La Tenriruwa Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng.
Kecuali Tanwin Djamar, ke enam saudaranya yang lain, yang masih hidup semuanya menetap di Bulukumba, sedang yang sudah meninggal, semuanya dimakamkan di pemakaman keluarga di Bulukumba.
Ruh La Tenriruwa ketika diziarahi makamnya di Bantaeng pertengahan November beberapa waktu lalu tersebut, bercerita kepada Wartawan BugisPos dalam bentuk komunikasi gaib.
La Tenriruwa berkata ; Iya tu musibawangnge ziaraiwi kuburuku, tuhusekku iya tu ana. Tuhuseng maka aruwa ni tu. Puwadangngi, narekko engkasi pole parimeng, natiwirengnga bunga pandang … Artinya ; Yang datang kamu temani itu berziarah ke kuburan saya, adalah keturtunan saya, beritahu dia (Tanwin Djamar), bila nanti datang lagi berziarah, tolong dibawakan bunga pandan.
La Tenriwuwa juga menjelaskan, bahwa makam yang ada di samping kanan makamnya, adalah makam isterinya yang namanya dia sebut Puang Awe (We Baji Lebae Ri Mario). Sedang makam di sebelah kirinya, adalah salah seorang pallapi warona (ajurannya) yang namanya tak disebut.
Sedang sejumlah makam yang ada di belakang makam La Tenriruwa, adalah makam para petinggi kerajaan Bone yang merupakan pengikut setianya yang turut berhijrah ke Bantaeng.
Sekarang ini, makam La Tenriruwa berada di dalam kompleks makam raja-raja Bantaeng, yang terletak di Jl. . Bantaeng. Oleh pemerintah melalui Kementerian Disbudpar, kompleks makam ini dijadikan Cagar Budaya yang dilindungi (awing/una)