Diskusi Budaya Membaca-Membaca Budaya: Perlu ki Ada Lagi Ideologi & Mitos Baru dalam Kebudayaan
BugisPos, Makassar – Perlu ada ideologi dan mitos baru dalam kebudayaan. Budaya itu harus berefek pada ekosistem. Misalnya, bagaimana bambu dipelihara oleh orang Kajang dan tidak boleh sembarang memotongnya.
“Oleh sebab itu, kita perlu membuat mitos-mitos baru, dan itu harus diserahkan kepada seniman kebudayaan yang bisa berpikir kritis. Kita tidak dapat mengandalkan pemerintah untuk pemertahanan kebudayaan, tetapi itu tugas kita semua,” ujar Prof.Dr.Mardi Adi Armin, M.Hum, dalam diskusi “Budaya Membaca, Membaca Budaya” di Baruga Anging Mamiri Makassar, Sabru (1/2/2025).
Selain Prof. Mardi Adi Armin, juga bertindak sebagai narasumber adalah dosen UMI Dr.Syafruddin Muhtamar, S.H.,M.H. dan anggota DPRD Sulsel Yeni Rahman, S.S. Acara yang dipandu Arwan D.Awing, S.E, itu juga diisi dengan sambutan Sekretaris Camat Tamalanrea/Dewan Pembina K.Apel Saddam Musma, S.STP, M.Si, N.LP, Founder K-Apel Rahman Rumaday, S.I.Pem, dan Ketua K-Apel Suriati Tubi.
Mardi Adi Armin, menyebutkan, budaya memang saling berinteraksi. Bahkan saling mematikan. Tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa ada kebudayaan luar yang baik dan bisa diserap. Begitu pun kebudayaan kita yang bisa diserap oleh orang lain.
“Katakanlah misalnya, budaya kerja keras, budaya disiplin, budaya minta maaf kalau kita salah, itu datang dari luar. Itu bisa diambil. Saya perhatikan orang Bugis-Makassar juga seperti itu, Kalau dia salah akan langsung minta maaf,” ujar Mardi menjawab pertanyaan dan tanggapan peserta diskusi.
Memang ada budaya yang penting diserap, disiplin, kerja keras, budaya antre, ucapan terima kasih, dan kita juga memiliki budaya yang bisa diekspor. Di Soppeng ada Douglas dari Amerika Serikat dan di Wajo ada Emilio warga Australia. Mereka tidak mau kembali ke negaranya masing-masing karena merasa senang. Emilio, kata Mardi, ketika ditanya, dia menjawab, kekeluargaannya sangat tinggi.
Memang ada prakondisi agar budaya itu berkembang. Misalnya, faktor orang tua, faktor pendidikan. Kita melihat video-video di youtube, guru-guru itu macam-macam gerakannya di sekolah. Faktor lingkungan juga, faktor teknologi. Budaya Korea K-Pop (subgenre musik pop dari Korea Selatan), dipromosikan oleh teknologi. Turki misalnya, tidak menggunakan whatsapp, tetapi menggunakan teknologinya sendiri.
Mardi memberikan contoh, mahasiswa yang tidak memakai sepatu tidak boleh bertemu. Mereka kemudian mengganti sandalnya dengan sepatu mungkin di kantor himpunan. Namun intinya adalah cara untuk membiasakan mereka dalam menjaga budaya dan menghormati seseorang.
Soal percampuran kebudayaan, sebut Mardi, itu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak dapat menafikan, di samping kita membangun dan memperkuat pendidikan, kurikulum ditata kembali agar menjadi baik, ketahahan budaya dan teknologi. Melalui teknologi ada beban kebudayaan yang diperjuangkan.
“Gelombang K-Pop di Asia, itu luar biasa promosinya. Kita belum memiliki hal seperti ini. Kita harus pertahankan dalam membela budaya sebenarnya,” ujar Mardi, kemudian menambahan, juga memandang perlu adanya ruang baca di tempat-tempat publik, misalnya di mal. Di perpustakaan misalnya, juga terkadang ada pemertahanan budaya. Hal-hal seperti ini yang perlu kita sepakati dalam satu visi dan misi menggodok cara–cara pemertahanan kebudayaan itu.
“Selama ini yang berjuang mempersoalkan kebudayaan adalah seniman dan budayawan sendiri yang kebanyakan miskin secara ekonomis. Saya tahu persis bagaimana susahnya memperjuangkan dana di pemerintah daerah. Negara miskin dan berkembang kurang menghargai kebudayaan,” ujar Mardi yang belasan tahun menjadi Sekretaris Dewan Kesenian Makassar.
Dr.Syafruddin Mahtamar, S.H.,M.H. menyebutkan membaca budaya adalah proses transisi tradisionalisme dalam wadah modernitas. Kita tidak menyoal modernisme, tetapi melihat implikasi dari modernitas. Modernisme melihat pada masalah materialisme.
“Budaya itu sudah berbaur dengan modernisme, sehingga membuat kita tidak tahu apa yang disebut dengan tradisi,” ujar Syafruddin Muhtamar.
Kemudian mengenai agama dan tradisi, kita tidak perlu pertentangkan. Tradisi itu akar katanya “tradicium”, ikatan ke surga. Kalau kita melihat di dalam La Galigo, itu ada nilai-nilai spiritualitas, apakah itu dalam agama Buddha atau yang lainnya atau apakah ajaran keilahian masa lampau dalam bentuk agama formal. Jadi, budaya itu adalah kelanjutan nilai-nilai tradisionalisme, sementara materialisme untuk membangun masyarakat industri.
“Bahkan dalam membangun budaya kita membangun masyarakat modern. Orang modern berpikir manajemen, sistematik, dan seterusnya,” ujarnya.
Yeni Rahman, anggota Komisi E DPRD Sulsel merespon bahwa tulisan-tulisan yang dibuat oleh para penulis dapat diterbitkan. Dia mengatakan, untuk tahun ini tidak dapat berbuat banyak karena penetapan anggaran tahun 2025 sudah ditetapkan sebelum dia bergabung di lembaga legislatif itu dan tidak dapat lagi diutak-atik.
“Namun untuk tahun depan, nanti Maret 2025 baru akan dibahas,” ujarnya.
Yeni Rahman mengatakan, jika pemerintah provinsi, dalam hal ini Gubernur, cinta literasi, seharusnya dapat menerbitkan karya-karya para penulis tersebut. Mestinya, para pemimpin harus memberi contoh membeli buku yang ditulis para penulis di daerah ini.
“Pada saat pameran Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) banyak barang yang dipamerkan. Orang-orang yang melihat pameran barang-barang itu hanya mengatakan ‘bagus’, tetapi tidak membeli. Sekali-sekali yang membeli itu mulai dari para pejabat. Insya Allah saya akan beli kalau buku ini jadi diterbitkan, ” ujar anggota dewan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang aktif dalam pembinaan Komunitas Anak Pelangi ini.
Yeni Rahman berpendapat, kegiatan literasi itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Tidak harus seseorang itu harus meraih sarjana. Banyak pemimpin lahir tanpa pendidikan yang tinggi. Institusi tertinggi bukan perguruan tinggi, melainkan ada di rumah tangga, ada pada para wanita.
Diskusi tersebut dihadiri sejumlah penulis, budayawan, sastrawan, wartawan, pustakawan, staf dari Disdik Maros, Pinrang, Takalar, Gowa, Makassar, dan Anggota PKK Kecamatan Tamalate. (mda).