BugisPos, Bulukumba – Di sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan, muncul sebuah pertanyaan yang melampaui batas Indonesia: Apakah pendidikan bisa merdeka?
Pertanyaan itu mengemuka dalam pertemuan publik SuarAsaESA keempat yang digelar oleh Sekolah Anak Desa. Diskusi berlangsung selama satu jam mulai pukul 17.00 WITA dan berakhir 18.00 WITA. Menghadirkan Gracesyera, fasilitator sekaligus orang tua dari komunitas pendidikan alternatif Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta.
“SALAM bukan sekolah, tapi komunitas,” tegas Syera. “Di sana tidak ada aturan yang kaku, yang ada hanya kesepakatan. Anak dan orang tua belajar bersama, tanpa relasi kuasa yang biasanya memisahkan pendidik dari peserta didik.”
SALAM memilih menyebut setiap anggotanya sebagai warga. Tidak ada murid, tidak ada guru, hanya warga yang saling belajar dan berbagi pengetahuan. Tujuannya sederhana: apa yang dipelajari bersama bisa dibawa pulang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kebebasan di SALAM tidak berarti tanpa batas. “Bebas bukan berarti tanpa aturan, tetapi hadir bersama tanggung jawab,” jelas Syera. Prinsip itu dituangkan dalam konsep Trinitas: Jaga diri, jaga teman, dan jaga lingkungan.
Praktik ini menjadikan SALAM berbeda dari sekolah umum. Setiap warga didorong untuk melakukan riset sesuai minatnya. Bagi komunitas ini, riset bukan sekadar metode belajar, melainkan sebuah jalan untuk mengasah kemandirian berpikir.
Bagi mereka yang ada di Yogyakarta, SALAM lebih dari sekadar sekolah alternatif. Ia adalah eksperimen budaya—sebuah bukti bahwa pendidikan bisa hidup di luar kelas, bebas dari standar baku, dan terbuka bagi siapa saja yang ingin mencari ruang belajar. “Pendidikan adalah ruang merdeka bagi siapa saja yang berani masuk ke dalamnya,” tutup Sakkir.