BugisPos, Bulukumba – Di tengah arus zaman yang kerap melunturkan semangat kebersamaan, pemuda desa bangkit. Mereka merespon Agustus bukan dengan hura-hura kosong, melainkan dengan gerakan yang menegaskan: merdeka bukan sekadar kata, melainkan ruang hidup yang harus dijaga.
SSB Batugarumbing memimpin barisan, menghadirkan “Merespon Agustus: Sebab Seni Juga Merdeka.” Sebuah parade alternatif yang mengikat simpul-simpul masyarakat desa agar tak tercerabut dari akar. Dari Rumah Buku SaESA yang menjajakan literasi di tikungan sunyi, Rosalia Merch yang memberi ruang santai nan liar, hingga Mammiri Silele yang menyalakan nyala karya. RUMKO menggoyangkan layangan, Sekolah Anak Desa menyuntikkan pendidikan alternatif, Siring Bambu menjadi mitra ruang, dan beberapa lainnya turut menyulam semangat kemerdekaan.
Kehadiran mereka adalah jawaban: bahwa pemuda tak boleh tunduk pada sistem yang ingin membungkam. Obor kemerdekaan harus terus dinyalakan agar desa tidak mati dalam senyap.
“Ini bukan pesta kebencian,” tegas Muh. Alif Dermawan, ketua umum SSB Batugarumbing. “Kita hadir menebar kedamaian. Love in peace.” Ucapannya mengalir di antara tawa anak-anak yang sibuk membuka lembar buku.
Aedil dari Siring Bambu mengingatkan dengan lantang: “Pemuda adalah jantung gerakan desa. Tanpa mereka, desa hanyalah makam yang menunggu bunga terakhir.”
Sorak anak-anak kecil yang berlarian, bahkan balita dari taman kanak-kanak, menandai bahwa semangat ini menular lintas usia. Seorang ayah berkata lirih namun penuh harap: “Jangan sampai kegiatan seperti ini dipadamkan oleh sistem. Biarlah ia tumbuh, menghidupkan desa.”
Dan dari pelapak Rosalia Merch, Abib menutup dengan sederhana tapi tegas: “Kalau anu baik ji, gass mi.”
Kemeriahan ini bukan sekadar parade, melainkan tanda: pemuda desa masih ada, masih berani, dan masih bersuara.