Cocoki, Isu Deradikalisasi Adalah Pertunjukan Kebodohan
BugisPos — Sejak ditampilkannya isu deradikalisasi dalam jagad perpolitikan nasional, ada sesuatu yang tidak beres terkait kapasitas intelektual dari sekelompok elite politik di republik ini dalam memahami persoalan-persoalan kontemporer politik bangsa.
“Persoalan radikalisasi bukanlah isu utama di negara ini. Masih banyak isu-isu lain yang menghambat kemajuan di bumi Indonesia ini. Isu-isu ini diantaranya adalah persoalan birokrasi yang besar, korupsi, dan tidak efisien; persoalan regulasi yang sulit, kebanyakan prosedur, dan menghambat; persoalan kepastian hukum di sistem keadilan kita yang meliputi diantaranya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman; persoalan kemiskinan; ketimpangan sosial yang tinggi; pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat, juga pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati sebagian kecil orang; persoalan kualitas demokrasi yang cenderung menuju oligarki; persoalan sumber daya manusia; infrastruktur yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga sekalipun; dan banyak isu-isu lain yang tidak bisa dilanjutkan disini yang memberikan gambaran bahwa membangun dan memajukan Indonesia adalah sebuah “daunting task” yang memerlukan komitmen dan keseriusan,” ungkap Farouk Alwyni pada reporter via WA di sela-sela kunjungannya ke Gold Coast (Australia), Kamis (21/11/2019).
“Dengan dipaksakannya isu radikalisasi menjadi isu utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, tidak terhindarkan kita semua melihat berbagai pertunjukan “kebodohan” yang ditampilkan oleh para aktor-aktornya. Mulai dari isu celana cingkrang dan cadar membuat Menteri Agama yang baru menjadi olok-olok di media sosial karena dianggap lebih cocok menjadi tukang jahit, sampai dengan seorang Ibu dengan wawasan dan kapasitas intelektual yang terbatas yang hanya bisa menggadang-gadang kebanggaanya dengan mengasosiasikan dirinya dengan ayahnya, sebagai seorang proklamator dan Presiden pertama Republik ini, tanpa bisa melihat kenyataan bahwa ayah yang dibanggakannya itu juga berkontribusi terhadap tumbuhnya kembali neo-feodalisme dan otoritarisme ketika mengambil alih kekuasaan dari parlemen ditahun 1959, perekonomian Indonesia yang bangkrut di tahun 1965-1966 serta kuatnya kekuatan politik anti Pancasila/Komunisme pada masa itu. Belum lagi kalau kita membahas lebih jauh bahwa para pahlawan sesungguhnya dari kemerdekaan Republik ini adalah mereka-mereka yang berjuang dengan tulus ikhlas bahkan mereka tidak pernah dikenal orang banyak, yang berjuang karena keyakinannya kepada Allah SWT dan RasulNya, Nabi Muhammad SAW,” imbuh Farouk.
“Banyak yang bisa diulas dari kebodohan pernyataan sang Ibu tersebut dalam membuat sebuah perbandingan yang tidak relevan antara seorang Soekarno dan seorang Nabi utusan Allah, Tuhan yang Maha Esa, yang merubah peta peradaban umat manusia. Tanpa sadar sang Ibu sebenarnya telah menghinakan diri dan ayahnya sendiri, dan itulah yang sekarang ramai di media sosial sekarang ini,” tegas Farouk.
“Tetapi pernyataan ini melihat bahwa mengulas hal tersebut lebih jauh tidaklah begitu perlu, karena pertunjukan-pertunjukan “kebodohan” yang terjadi pada saat ini pada esensinya adalah dampak dari pemaksaan isu yang “superficial” dan tidak dipikirkan secara dalam.
Pertanyaannya adalah, apakah para pengusung isu radikalisme itu telah menggunakan batasan-batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan radikalisme ? Lalu bagaimana dengan radikalisme sekuler dan materialistik yang juga berbahaya terhadap kelangsungan Republik ini, apakah sudah dipikirkan juga ? Juga model perhitungan macam apa yang digunakan dengan menjadikan agenda deradikalisasi menjadi agenda nasional, khususnya jika dibandingkan dengan kerugian besar yang dialami bangsa ini akibat diantaranya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, missmanajemen dan inkompetensi para pengelola negara dan BUMN-BUMN yang ada, kemacetan, polusi, dan persoalan-persoalan besar yang nyata dihadapi bangsa ini.
Ditengah kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu akibat isu radikalisasi dan deradikalisasi ini, hendaknya setiap penyelenggara negara kembali ke akal sehatnya, berhenti mengedepankan “vested interest”-nya masing-masing, dan mulai menata republik ini secara lebih serius dengan mencari pemecahan persoalan-persoalan bangsa yang lebih substantif.
Hal ini adalah untuk kebaikan kita semua dan juga untuk menciptakan dan meninggalkan Indonesia yang lebih baik bagi anak cucu kita kelak, yakni Indonesia yang lebih adil, merata, beradab dan bermartabat, maju dan kuat, serta berperan dalam dunia internasional,” pungkas
Farouk Abdullah Alwyni, selaku
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED). (fri)