Era Digital Membuat Informasi di Ujung Jari mi
BugisPos — Kita merupakan masyarakat informasi yang hidup di era digital. Sehingga, mudah mendapat informasi, cukup dengan satu klik di mesin pencari, informasi akan datang. Mereka yang bukan generasi milenial dan gen Z bahkan dituntut bertransformasi ke digital, agar adaptif terhadap perkembangan zaman.
Begitu materi yang disampaikan Rusdin Tompo, Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Komunikasi Pemerhati (FKP) Radio Republik Indonesia (RRI), dalam kegiatan “Pertemuan Para Pihak untuk Merumuskan Panduan dan Konsep Dasar: Indikator Kepercayaan Media Online”, yang diadakan di Swiss Belhotel, Makassar, Sabtu, 16 Oktober 2021.
Acara yang berlangsung selama 2 hari ini, diadakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bekerja sama dengan USAID dan Internews. Pesertanya berasal dari wilayah Indonesia timur dan sebagian dari Sumatra dan Kalimantan, yang seluruhnya merupakan anggota AMSI. Mereka berasal dari Riau, Banda Aceh, Solo, Kalbar, Papua, Maluku, Sulteng, Sultra, Manado, Gorontalo, Sulbar, Makassar, dan NTB.
Penulis buku dan penggiat literasi itu mengisahkan, ramalan tentang kemajuan masyarakat informasi itu dia baca sejak akhir 80-90an lewat buku-buku yang ditulis futurolog sosial, Alvin Toffler. Dia lantas menyebut buku-buku dimaksud, seperti “Kejutan Masa Depan”, “Kejutan dan Gelombang”, serta “Gelombang Ketiga”.
“Dahulu, saat membaca buku-buku itu, dan beberapa buku sejenis, hanya membuat saya berimajinasi. Sekarang, lingkungan sosial berbasis digital itu kita jalani,” ungkapnya saat sesi materi yang dipandu moderator Verrianto Madjowa, Ketua AMSI Gorontalo.
Era digital itu, lanjutnya, membuat kita tak lagi mengakses dan mengkonsumi informasi atau berita melalui media-media tradisional, tapi media baru. Perlahan, kita tak lagi membaca koran atau majalah secara cetak tapi online. Orang perlahan-lahan tak lagi mendengar radio melalui pesawat radio, tapi secara streaming atau melalui aplikasi, seperti RRI Play Go, milik Lembaga Penyiaran Publik RRI.
Begitupun dengan televisi, alternatifnya bisa disaksikan melalui YouTube, atau akun-akun medsos lainnya. Digambarkan, ada banyak saluran informasi yang tersedia karena kita punya multimedia, multiplatform, dan multichannel.
Masyarakat tak hanya jadi konsumen media, tapi juga ikut mewartakan, mengemas, dan memproduksi informasi layaknya berita. Mereka mencari informasi sesuai minat, kebutuhan, profesi, usia, gender, latar belakang budaya dan agama, serta preferensi politik. Mereka aktif, seperti berlomba mau mengabarkan informasi, mau yang pertama, dan tentu mau viral info yang dibagikannya. Karena informasi itu bisa dikonversi dan dikapitalisasi, punya nilai ekonomis.
“Itu karena konstitusi kita, UUD 1945, menjamin hak atas informasi,” ujarnya.
Dia lantas mengutip sejumlah data yang disebutnya sebagai peluang sekaligus tantangan. Penduduk Indonesia, yang berjumlah hampir 275 juta jiwa, pengguna internetnya di awal 2021, mencapai 202,6 juta orang. Sedangkan pemakai smartphone ada sebanyak 160,27 juta atau nomor 4 di dunia setelah Tiongkok, India, dan AS.
Mengutip data yang pernah disampaikan mantan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo (2016-2019), bahwa terdapat 43.300 media online, 2000 media cetak, 674 radio, dan 523 TV, termasuk TV lokal. Jumlah yang besar dan banyak ini perlu dibarengi dengan idealisme, sikap profesional dan tanggung jawab agar media onlinenya dipercaya. Apalagi, produk jurnalisme itu memiliki disiplin pada verifikasi.
Secara subyektif, kata mantan Ketua KPID Sulawesi Selatan itu, dia biasa membaca media-media online yang juga bagian dari grup media mainstrem. Selain itu, media yang punya ciri dan karakter kuat, media yang memberi perspektif dan wawasan, serta media yang bisa jadi referensi dan kaya data. Juga media yang ramah anak, tidak bias gender, yang mengusung nilai-nilai humanisme, dan edukatif.
“Saya suka berita dari media-media yang melakukan literasi kebangsaan, dan media yang tidak menggoreng isu hanya sekadar untuk mendapatkan ckikbait demi meraih keuntungan finansial,” paparnya.